Tiga Bulan Setelah Mendeaktivasi Instagram

Menjaga atensi dari ragamnya distraksi

Panji Akbar Prisdiminggo
5 min readJan 23, 2023
Photo by Luke van Zyl on Unsplash

Memang terdengar sedikit aneh, di abad ke-21 yang erat kaitannya dengan era teknologi 4.0 tetapi kamu menarik diri dari hiruk-pikuknya instagram.

Semua diawali dari penatnya melihat linimasa instagram, pikiran terasa penuh, cemas berlebihan dan kerap merasa tiap hari tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan sesuatu. Padahal, setiap kita memiliki waktu yang sama 24 jam dalam 7 hari (24/7). Apa yang salah? Kemampuan mengontrol adiksi.
Aku pertama kali menggunakan instagram di tahun 2012 akhir, genap pada tahun lalu satu dekade menggunakannya. Menurutku merasakan 10 tahun instagram merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk menggunakan aplikasi ini, langkah ke depan harus bisa mere-evaluasi hubungan dengannya yakni dengan mendeaktivasi sampai waktu yang tidak ditentukan. Adapun fitur yang disediakan aplikasi ini terlalu banyak, sudah melenceng dari tujuan awal aplikasi ini diciptkan yaitu platform berbagi foto dan video pendek. Semua berubah drastis ketika fitur story diluncurkan (yang diadaptasi sepenuhnya dari snapchat). Instagram story memaksa penggunanya untuk ikut ke dalam kehidupan pengguna lain karena fitur ini hanya bertahan sampai 24 jam, ini yang menyebabkan FOMO: Fear of Missing Out. Informasi yang ada di aplikasi ini bertebaran, sampai informasi yang tak perlu diketahui (red: tak penting) pun menjadi tahu, hal ini membuat pengguna sulit fokus serta selalu terdistraksi dengan hal yang tidak relevan. Dan ini lah yang kurasakan selama 4 tahun terakhir. Kurang lebih inilah yang kurasakan.

Atensi adalah emas, mahal. Maka itu, baiknya kitalah yang menggunakan teknologi, jangan sampai kita biarkan teknologi memanfaatkan kita. Kita yang meraup manfaat sebesar-besarnya dari teknologi, bukan sebaliknya.
Marissa Anita

Pernah hendak tidur tapi terganggu oleh notifikasi gawai? Atau bahkan berselancar di dunia maya sampai larut malam? Apabila iya, itu berarti hal-hal favorit kita akan sesuatu telah terprogram oleh algoritma instagram. Butuh waktu yang tidak singkat untuk bisa keluar dari kecanduan ini.

Saatnya kita sebagai pengguna, harus mengambil kendali atas pikiran kita!

Dalam tulisan ini, aku tidak mengatakan instagram tidak ada manfaat, melainkan banyak manfaatnya bagi yang bisa menggunakannya dengan baik; misalnya social media analyst/specialist atau wirausahawan yang bergelut dalam platform ini. Mereka memanfaatkan instagram untuk memperoleh uang, that’s a good thing. Sayangnya untuk pengguna biasa lainnya yang hanya menggulirkan layar dan melihat feedinstastory yang kerap membuang waktu serta jejak data berselancar kita tersimpan dan dimanfaatkan pengiklan instagram untuk mengatur algoritma personal yang berimbas pada durasi penggunaan aplikasi ini. Tak terasa, lama kelamaan inilah yang menyebabkan adiksi berkelanjutan. Ditambah lagi bagiku media sosial hanya memanfaatkan kesukaan penggunanya untuk bisnis (iklan) serta hanya menambah sedikit nilai bagi kehidupan penggunanya. Mulai sekarang harus selektif dalam memilih media sosial.
Pada tahun 2020 aku mulai merasakan instagram sudah tidak relevan lagi. Penyebabnya yaitu algoritmanya yang ngawur, postingan orang yang tak dikenal acapkali muncul dalam feed pengguna, ditambah lagi iklan yang menjamur di tiap 5 guliran postingan. Ini salah satu penyebab kurangnya esensi menggunakan aplikasi yang dikembangkan Meta ini.

Apakah ada media sosial yang lebih baik dari Instagram?

Ada, aku masih menggunakan twitter meskipun juga harus mengontrol dalam menggunakannya. Twitter masih bisa dikatakan relevan karena pengguna bisa mengontrol apa-apa saja yang akan muncul dalam linimasanya. Fitur ini disebut topik, pengguna bisa memilih topik favorit yang akan selalu muncul ketika membuka aplikasi dengan logo burung dengan latar biru ini. Selain itu, twitter juga memiliki fitur bisukan (mute) bukan hanya pengguna yang bisa di-mute, tetapi keyword-keyword yang tidak relevan dengan kita bisa saja di-mute agar tidak muncul di linimasa. Sebagai contoh: pengguna X tidak menyukai pembahasan politik dan tetek bengeknya, pengguna ini tinggal menambahkan keyword yang berhubungan dengan politik dalam fitur bisukan agar linimasanya bersih dari bahasan politik, sesimpel itu. Tentu hal ini tidak bisa didapatkan di instagram yang hanya mengandalkan algoritma.

Yang kurasakan setelah 3 bulan mendeaktivasi instagram

Pertama, pikiranku menjadi lebih fokus dalam mengerjakan sesuatu, seperti atensiku kembali lagi dalam genggaman. Tiga bulan ini kumanfaatkan untuk mengikuti berbagai macam online course di bidang data science dan keuangan, seperti di Pacmann.io, DQlab, dan Corporate Finance Institute. Sertifikat yang didapatkan dari beberapa lembaga ini pun didapatkan secara gratis dan tentu bisa menambah nilai pada diri kita di saat waktu luang. Hal selanjutnya yang paling kurasakan adalah menjadi lebih hemat dan jauh dari sifat konsumerisme. Memang pengiklan di instagram sangat masif yang kerap menggoda penggunanya untuk segera membeli produk dari si pengiklan. Ini salah satu penyebab tombol notifikasi digantikan oleh instagram shop dengan logo tas belanja bukan? Selanjutnya berimbas pada kemampuanku dalam mengelola waktu menjadi lebih bijak. Screen time pada gawai cukup menurun dengan pesat ini menandakan di tiga bulan ini aku bisa menjaga jarak dengan dunia maya dan bisa membedakan mana dunia nyata dan maya.

Apa kata ex pengguna Instagram yang telah abstain selama 4 tahun?

Manik namanya, seorang kawan lamaku sedari SD sampai SMA. Ia mulai vakum di Instagram mulai tahun 2018 hingga kini. Ia berbagi pengalaman mengapa memilih tidak menggunakan aplikasi ini.
Awal mula Ia menarik diri dari Instagram karena baginya di platform ini sudah mulai kurang bisa dinikmati (boring) sebab idola barunya kala itu — BTS — tidak memiliki akun instagram tetapi kerap update di twitter. Alasan lainnya instagram sudah mulai dijadikan ajang pamer(flexing) yang membuatnya tak nyaman dan secara berangsur-angsur terpisah dengan platform ini serta menyebabkan tak ada ketertarikan lagi untuk membukanya karena tak menemukan alasan yang perlu-perlu banget. Apakah Ia merasa FOMO atau tertinggal banyak informasi? Pastinya tidak. Manik mendapatkan informasi terbaru sehingga tak merasa FOMO dari twitter. Tentunya informasi twitter lebih real-time dibanding instagram ditambah lagi linimasanya bisa diatur sedemikian rupa sesuai keinginannya. Ia juga menambahkan ada peraturan pengguna yang tak tertulis di instagram, seperti harus me-repost story yang men-tag kita. Ia merasa tak ada kewajiban untuk me-repost story tersebut karena setiap pengguna bebas melakukan apapun yang diingininya. Hal-hal kecil tersebutlah yang membuat Ia tak berada di instagram sampai sekarang, walaupun akunnya masih ada dan tidak dideaktivasi.

Instagram sangat bagus untuk kamu para pengiklan, pengusaha, atau orang-orang yang butuh atensi publik (politisi, artis, public figure, dll) karena di platform ini sangat mendukung untuk itu. Bagiku untuk pengguna biasa platform ini hanya memanfaatkan atensi kita untuk kebutuhan bisnis mereka. Apapun dilakukan agar penggunanya bisa berlama-lama di aplikasinya.

Semua kembali lagi, kebebasan Anda yang menentukan. Apakah instagram lebih banyak manfaat atau sebaliknya. Tulis pendapatmu di bawah. :)

Kenapa hanya mendeaktivasi, bukannya menghapus akun?

Sering mendapatkan pertanyaan ini. Kenapa nanggung kalau mau menarik diri dari instagram?
Jawabannya simpel, aku tidak ingin username-ku digunakan orang lain. Ya, untuk semua sosial media, blog, dan email yang kugunakan; rerata memakai username yang sama yaitu: panjiakbarp. Bila mendeaktivasi instagram secara permanen, username-ku ini bisa dipakai orang lain. Tidak untuk deaktivasi sementara/temporari username masih milik kita, walaupun tidak ditampilkan dalam sistem.

--

--

Panji Akbar Prisdiminggo
Panji Akbar Prisdiminggo

Written by Panji Akbar Prisdiminggo

Menulis perihal yang dirasa, dibaca dan terlintas.

No responses yet